Senin, 21 Juni 2010

Kedustaan Mangkul

Pengertian Manqul dalam Ajaran LDII
Manqul H Nur Hasan Ubaidah adalah proses pemindahan ilmu dari guru ke murid.
Ilmu itu harus musnad (mempunyai sandaran) yang disebut sanad, dan sanad itu
harus mutashil (bersambung) sampai ke Rasulullah sehingga manqul musnad
muttashil (disingkat M.M.M.) diartikan belajar atau mengaji Al Quran dan hadits dari
Guru dan gurunya bersambung terus sampai ke Rasulullah.
Atau mempunyai urutan guru yang sambung bersambung dari awal hingga akhir
(demikian menurut kyai haji Kastaman, kiyai LDII dinukil dari bahaya LDII hal.253)
Yakni: Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru, telinga langsung
mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat, terhalang dinding [Menurut
mereka, berkaitan dengan terhalang dinding sekarang sudah terhapus. Demikian
dikabarkan kepada kami melalui jalan yang kami percaya. Tapi sungguh aneh,
aqidah yang sangat inti bahkan menjadi ciri khas kelompok ini bisa berubah-rubah.
Demikiankah aqidah?! - pen] atau lewat buku tidak sah sedang murid tidak
dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun ia menguasai ilmu
tersebut, kecuali murid tersebut telah mendapatkan ijazah (ijin untuk
mengajarkan-red) [Ijazah artinya pemberian ijin untuk meriwayatkan hadits misalnya
saya katakan: 'Saya perbolehkan kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang telah
saya riwayatkan dari guru saya'- pen] dari guru, maka ia boleh mengajarkan seluruh
isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu" [Drs Imron AM, selintas mengenai
Islam Jama'ah dan ajarannya, Dwi Dinar, Bangil, 1993 hal. 24 dinukil dari Bahaya
LDII hal. 258- pen]
Keyakinan LDII tentang Manqul
1. Mereka meyakini dalam mempelajari ajaran agama harus manqul musnad dan
muttashil, bila tidak maka tidak sah ilmunya, ibadahnya ditolak dan masuk neraka.
2. Nur Hasan mengaku bahwa dirinyalah satu-satunya jalur untuk menimba ilmu
secara musnad muttashil di Indonesia bahkan di dunia., atas dasar itu ia
mengharamkan untuk menimba ilmu dari jalur lain.
3. Ia mendasari kayakinannnya itu dengan dalil-dalil, -yang sesungguhnya tidak tepat
sebagai dalil-.
Kajian atas Keyakinan dan Dalil-Dalil mereka
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
1 of 9 04-03-2009 07.58
Kajian atas point pertama:
a. Keyakinannya bahwa ilmu tidak sah kecuali bila diperoleh dengan musnad
mutashil dan manqul, adalah keyakinan yang tidak berdasarkan dalil, adapun
dalil-dalil yang dia pakai berkisar antara lemah dan tidak tepat sebagai dalil. Seperti
yang akan anda lihat nanti Insya Allah.
b. Bahwa ini bertentangan dengan dalil-dalil syar'i yang menunjukan bahwa
sampainya ilmu tidak mesti dengan manqul, bahkan kapan ilmu itu sampai
kepadanya dan ilmu itu benar, maka ilmu itu adalah sah dan harus ia amalkan
seperti firman Allah: …^]Y \[ و ZY X رآ NUT ن RQPL ا ا N ه JL إ JI وأو "Dan diwahyukan kepadaku Al
Quran ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al Quran
sampai padanya" [Al An'am:19]
Mujahid mengatakan: dimanapun Al Quran datang maka ia sebagai penyeru dan
pemberi peringatan. Kata (^]Y \[ و) Ibnu Abbas menafsirkannya: "Dan siapa saja yang
Al Quran sampai kepadanya, maka Al Quran sebagai pemberi peringatan baginya."
Demikian pula ditafsirkan oleh Muhammad bin Ka'b, As Suddy [Tafsir at
Thabari:5/162-163], Muqatil [Tafsir al Qurthubi:6/399], juga kata Ibnu Katsir [2/130].
Sebagian mengatakan : "Berarti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai
pemberi peringatan bagi orang yang sampai kepadanya Al Quran." Asy Syinqithi
mengatakan: "Ayat mulia ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
pemberi peringatan bagi setiap orang yang Al Quran sampai kepadanya, siapapun
dia. Dan dipahami dari ayat ini bahwa peringatan ini bersifat umum bagi semua yang
sampai kepadanya Al Quran, juga bahwa setiap yang sampai padanya Al Quran dan
tidak beriman dengannya maka ia di Neraka". [Tafsir Adhwa'ul Bayan:2/188 lihat pula
tafsir-tafsir di atas-pen] Maka dari tafsir-tafsir para ulama di atas - jelas bahwa tidak
seorangpun dari mereka mengatakan bahwa sampainya ilmu harus dengan musnad
muttashil atau bahkan manqul ala LDII.
Bahkan siapa saja yang sampai padanya Al Quran dengan riwayat atau tidak, selama
itu memang ayat Al Quran, maka ia harus beriman dengannya apabila tidak maka
nerakalah tempatnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:`L و Jba ا `_]Y
dcR"Sampaikan dariku walaupun satu kalimat" [Shahih, HR Ahmad Bukhari dan
Tirmidzi]. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengharuskan cara manqul ala LDII
dalam penyampaian ajarannya.
c. Keyakinan mereka bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam, dimana beliau menyampaikan ilmu dengan surat kepada para raja. Seperti
yang dikisahkan sahabat Anas bin Malik: ىQَ r آِ ْ mL َ إَِ qp آََ Xَ ]io وَ َ Zِ nْ]َa َ Z]iL ا m]il َ Zِ ]iL ا iJjِU ن َ i ٍ أَ gU أََ \ْ aَ
Zِ nْ]َa َ X‚]iL ا m]il َ JjِbiL ا Zِ nْ]َa َ m]il ِي َ NLi ا yJxِ wvَ biLwY َ ِ gnْL وََ mLَwَ ~ َ Zِ ]iL ا mL إَِ X هُ ْ `a ْ ُ }c رٍ َ wji| َ y{ آُ mL وَإَِ yJxِ wvَ biL ا mL وَإَِ Qَ uَ nْt َ mL وَإَِ
Xَ ]io وَ َ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada Kisra, Qaishar, Najasyi
dan kepada selurus penguasa, mengajak mereka kepada Allah. bukan an Najasyi
yang Nabi menshalatinya" [Shahih, HR Muslim, Kitabul Jihad….no:4585 cet Darul
Ma'rifah] (Surat Nabi kepada Heraqlius) [Shahih, HR Bukhari no:7 dan Muslim: 4583].
An Nawawi mengatakan ketika mensyarah hadits ini: "Hadits ini (menunjukkan)
bolehnya beramal dengan (isi) surat." [Syarh Muslim:12/330] Surat Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam kepada raja Bahrain, lalu kepada Kisra [Shahih, HR al Bukhari,
Fathul Bari:1/154]dan banyak lagi surat beliau kepada raja atau tokoh-tokoh
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
2 of 9 04-03-2009 07.58
masyarakat, bisa anda lihat perinciannya dalam kitab Zadul Ma'ad:1/116120 karya
Ibnul Qoyyim [Cet Ar Risalah ke 30 Thn. 1417/1997]
Surat-menyurat Nabi ini tentu tidak sah menurut kaidah manqulnya Nur Hasan
Ubaidah. Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menganggap itu sah, sehingga
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima Islam - mereka yang masuk Islam -
karena surat itu tidak menganggap mereka kafir karena tidak manqul. Dan Nabi
menganggap surat itu sebagai hujjah atas mereka yang tidak masuk Islam setelah
datangnya surat itu, sehingga tiada alasan lagi jika tetap kafir, seandainya sistem
surat-menyurat itu tidak sah, mengapa Nabi menganggapnya sebagai hujjah atas
mereka??.
Kemudian setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, cara inipun dipakai oleh para
sahabatnya seperti surat Umar kepada Abu Musa al 'Asy 'ari yang terdapat
didalamnya hukum-hukum yang berkaitan dengan Qadha' [Riwayat Ibnu Abi
Syaibah, ad Daruqhutni al Baihaqi dan lain-lain `dishahihkan oleh al Albani dalam
Irwaul Ghalil:8/241, Ahmad Syakir dan lain-lain -pen], lihat perinciannya dalam buku
khusus membahas masalah ini berjudul ء و w‹PL ا JŠ ي QxT ا mo`[ JY أ mL ب إ wˆ‡L ا \Y ا Q†a dLwo ر
dc ودرا dc روا ZY دا R karya Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul.], Aisyah menulis surat
kepada Hisyam bin Urwah berisi tentang shalat [al Kifayah fi 'Ilmirriwayah:343],
Mu'awiyahpun menulis kepada al Mughirah bin Syu'bah tentang dzikir setelah shalat
[Shahih, HR Bukhari dan Muslim], Utsman bin Affan mengirim mushaf ke pelosokpelosok
[Riwayat al Bukhari secara Mu'allaq:1/153 dan secara Musnad:9/11], belum
lagi para ulama setelah mereka. Namun semuanya ini dalam konsep manqulnya Nur
Hasan Ubaidah tidak sah, berarti teori 'manqul anda' justru tidak manqul dari mereka,
sebab ternyata menurut mereka semua sah. Dan pembaca akan lihat nanti - Insya
Allah - komentar para ulama tentang ini.
Surat-menyurat ini lalu diistilahkan dengan mukatabah, dan para ulama ahlul hadits
menjadikannya sebagai salah satu tata cara tahammul wal ada' (mengambil dan
menyampaikan hadits), bahkan mereka menganggap ini adalah cara yang musnad
dan muttashil, walaupun tidak diiringi dengan ijazah. Ibnus Sholah mengatakan:
"Itulah pendapat yang benar dan masyhur diatara ahlul hadits…dan itu diamalkan
oleh mereka serta dianggap sebagai musnad dan maushul (bersambung) [Ulumul
Hadits:84] . As Sakhowi juga mengatakan: "Cara itu benar menurut pendapat yang
shahih dan masyhur menurut ahlul hadits …. dan mereka berijma' (sepakat) untuk
mengamalkan kandungan haditsnya serta mereka menganggapnya musnad tanpa
ada khilaf (perselisihan) yang diketahui." [Fathul Mughits:3/5]
Al Khatib al Baghdadi menyebutkan: "Dan sungguh surat-surat Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam menjadi agama yang harus dianut dan mengamalkan isinya wajib
bagi umat manusia ini, demikian pula surat-surat Abu Bakar, Umar dan selain
keduanya dari para Khulafar ar Rasyidin maka itu harus diamalkan isinya. Juga surat
seorang hakim kepada hakim yang lainnya dijadikan sebagai dasar hukum dan
diamalkan.' [al Kifayah :345] . Jadi, ini adalah cara yang benar dan harus diamalkan,
selama kita tahu kebenaran tulisan tersebut maka sudah cukup. [lihat, al Baitsul
hatsits:123 dan Fathul mughits:3/11]
Imam al Bukhari pun mensahkan cara ini, dimana beliau membuat sebuah bab
dalam kitab Shahihnya berjudul : "Bab (riwayat-riwayat) yang tersebut dalam hal
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
3 of 9 04-03-2009 07.58
munawalah dan surat/tulisan ulama yang berisi ilmu ke berbagai negeri." [Fathul
Bari:1/153]
Kalaulah 'manqul kalian' dimanqul dari para ulama penulis Kutubus Sittah, mengapa
Imam Bukhari menyelisihi kalian?? Apa kalian cukupkan dengan kitab-kitab
'himpunan', sehingga tidak membaca Shahih Bukhari walaupun ada di bab-bab awal,
sehingga hal ini terlewatkan oleh kalian?? Demikian pula Imam Nasa'i menyelisihi
kalian, karena beliau ketika meriwayatkan dari gurunya yang bernama Al Harits Ibnu
Miskin beliau hanya duduk di balik pintu, karena tidak boleh mengikuti kajian
haditsnya Sebabnya, karena waktu itu imam Nasa'i pakai pakaian yang membuat
curiga al Harits ibnu Miskin dan ketika itu al Harits takut pada urusan-urusan yang
berkaitan dengan penguasa sehingga beliau khawatir imam Nasa'i sebagai
mata-mata maka beliau melarangnya [Siyar A'lam an Nubala:14/130], sehingga
hanya mendengar di luar majlis. Oleh karenanya ketika beliau meriwayatkan dari
guru tersebut beliau katakan: “†o أ wU وأ Zn]a اءة Qt \n‘r[ \Y رث wL ا wbŽ}I"Al Harits Ibnu Miskin
memberitakan kepada kami, dengan cara dibacakan kepada beliau dan saya
mendengarnya" dan anehnya riwayat semacam ini ada pada kitab himpunan kalian
Kitabush Sholah hal. 4, "Apa kalian tidak menyadari apa maksudnya??"
d. Istilah 'manqul' sebagai salah satu bidang ilmu ini adalah istilah yang benarbenar
baru dan adanya di Indonesia pada Jama'ah LDII. Ini menunjukan bahwa ini bukan
berasal dari para ulama. Adapun manqul sendiri adalah bahasa Arab yang berarti
dinukil atau dipindah, dan ini sebagaimana bahasa Arab yang lain dipakai dalam
pembicaraan. Namun hal itu hanya sebatas pada ungkapan bahasa -bukan sebagai
istilah atau ilmu tersendiri yang memiliki pengertian khusus - apalagi konsekwensi
khusus dan amat berbahaya.
e. Adapun musnad dan mutashil, memang ada dalam ilmu Musthalah dan masing
masing punya definisi tersendiri. Musnad salah satu artinya dalam ilmu mushtolahul
hadits adalah 'Setiap hadits yang sampai kepada Nabi dan sanadnya
bersambung/mutashil' [Min atyabil manhi fi 'ilmil Musthalah:8]. Akan tetapi perlu
diketahui bahwa persyaratan musnad ini adalah persyaratan dalam periwayatan
hadits dari Nabi, bukan persyaratan mengamalkan ilmu. Harus dibedakan antara
keduanya, tidak bisa disamakan antara riwayat dan pengamalan.
Sebagaimana akan anda lihat nanti - Insya Allah - dalam pembahasan al wijadah,
bahwa al wijadah itu secara riwayat terputus Namun secara amalan harus diamalkan.
Orang yang tidak membedakan antara keduanya dan mewajibkan musnad mutashil
dalam mengamalkan ilmu maka telah menyelisihi ulama ahlul hadits.
f. Musnad muttashilpun bukan satu-satunya syarat dalam riwayat hadits. Karena
hadits yang shahih itu harus terpenuhi padanya 5 syarat yakni pertama, diriwayatkan
oleh seorang yang adil [adil dalam pengertian ilmu mushtalah adalah seorang
muslim, baligh, berakal selamat dari kefasikan dan hal-hal yang mencacat
kehormatannya (muru'ah) [Min Atyabil Manhi fi Ilmil Musthalah:13]-pen, kedua yakni
yang sempurna hafalannya atau penjagaannya terhadap haditsnya, ketiga, sanadnya
bersambung, keempat, tidak syadz [Syadz artinya, seorang rawi yang bisa diterima
menyelisi yang lebih utama dari dirinya [nuzhatun nadzor] yakni dalam meriwayatkan
hadits bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya atau lebih banyak
jumlahnya. Sedang mu'allal artinya memiliki cacat atau penyakit yang tersembunyi
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
4 of 9 04-03-2009 07.58
sehingga tampaknya tidak berpenyakit padahal penyakitnya itu membuat hadits itu
lemah. -pen] dan kelima tidak mu'allal.
Kalaupun benar –padahal salah- apa yang dikatakan oleh Nurhasan bahwa ilmu
harus musnad muttashil, mana syarat-syarat yang lain ? Kenapa hanya satu yang
diambil ? Jangan-jangan dia sengaja disembunyikan karena memang tidak terpenuhi
padanya !
Atau kalau kita berhusnudhon, ya mungkin tidak tahu syarat-syarat itu, atau lupa,
apa ada kemungkinan lainnya lagi?? Dan semua kemungkinan itu pahit. Jadi tidak
cukup sekedar musnad muttashil bahkan semua syaratnya harus terpenuhi dan
tampaknya keempat syarat yang lain memang tidak terpenuhi sama sekali. Hal itu
bisa dibuktikan apabila kita melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada pada ajaran
LDII, misalnya dalam hal imamah, bai'at, makmum sholat, zakat, dan lain-lain. Ini
kalau kita anggap syarat Musnad Muttashil terpenuhi pada mereka, sebenarnya itu
juga perlu dikaji.
g. Amal LDII dengan prinsip ini menyelisihi amal muslimin sejak Zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam sampai saat ini.
h. Kenyataannya mereka hanya mementingkan MMM, tidak mementingkan
keshahihan hadits, buktinya dalam buku himpunan mereka ada hadits-hadits dha'if,
bahkan maudhu' (palsu). Lantas apalah artinya MMM kalau haditsnya tidak shahih
karena rawinya tidak tsiqoh misalnya? [Contoh pada pembahasan terakhir -pen]
i. Dari siapa 'manqul' ini dimanqul? Kalau memang harus manqul bukankah 'metode
manqul' itu juga harus manqul?? Karena ini justru paling inti, Nur Hasan atau para
pengikutnya harus mampu membuktikan secara ilmiyah bahwa manqul ini 'dimanqul'
dari Nabi, para sahabatnya dan para ulama ahli hadits. Kalau ia tidak bisa
membuktikannya, berarti ia sendiri yang pertama kali melanggar kaidah manqulnya.
Kalau ia mau buktikan, maka mustahil bisa dibuktikan, karena seperti yang kita lihat
dan akan kita lihat - Insya Allah - ternyata manqul ini menyelisihi Nabi, para sahabat,
dan ulama ahlul hadits.
j. Dalam ilmu Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada' (menerima dan
menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al
Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan
seseorang dengan sanadnya [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al wijadah
termasuk munqothi' [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus dengan
hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi dari bawah
sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau mu'allaq, Ibnu ash
Sholah mengatakan: "Ini termasuk munqothi' dan mursal…", ar Rasyid al 'Atthor
mengatakan: "Al wijadah masuk dalam bab al maqthu' menurut ulama (ahli)
periwayatan".[Fathul Mughits:3/22]
Bahkan Ibnu Katsir menganggap ini bukan termasuk periwayatan, katanya: "Al
Wijadah bukan termasuk bab periwayatan, itu hanyalah menceritakan apa yang ia
dapatkan dalam sebuah kitab." [al Baitsul Hatsits:125]
Jadi al wijadah ini kalau menurut kaidah M.M.M-nya Nur Hasan tentu tidak terpenuhi
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
5 of 9 04-03-2009 07.58
kategorinya, sehingga tentu tidak boleh bahkan haram mengamalkan ilmu yang
diperoleh dengan cara al wijadah. Tetapi maksud saya disini ingin menerangkan
pandangan ulama tentang mengamalkan ilmu yang didapat dengan al wijadah,
ternyata disana ada beberapa pendapat:
a. Sebagian orang terutama dari kalangan Malikiyah (pengikut madzhab Maliki)
melarangnya.
b. Boleh mengamalkannya, ini pendapat asy Syafi'i dan para pemuka madzhab
Syafi'iyyah.
c. Wajib mengamalkannya ketika dapat rasa percaya pada yang ia temukan. Ini
pendapat yang dipastikan ahli tahqiq dari madzhab as Syafi'iyyah dalam Ushul Fiqh.
[lihat Ulumul Hadits karya Ibnu Sholah:87]
Ibnush Sholah mengatakan tentang pendapat yang ketiga ini: "Inilah yang mesti
dilakukan di masa-masa akhir ini, karena seandainya pengamalan itu tergantung
pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari
Nabi) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya." [Ulumul
Hadits:87] Yang beliau maksud adalah hanya al wijadah yang ada sekarang. [al
Baitsul Hatsits: 126]
An Nawawi mengatakan: 'Itulah yang benar' [Tadriburrawi:1/491], demikian pula As
Sakhowi juga menguatkan pendapat yang mewajibkan. [Fathul Mughits:3/27]
Ahmad Syakir mengatakan: yang benar wajib (mengamalkan yang shahih yang
diriyatkan dengan al wijadah). [al Baitsul Hatsits: 126]
Tentu setelah itu disyaratkan bahwa penulis kitab yang ditemukan (diwijadahi) adalah
orang yang terpercaya dan amanah dan sanad haditsnya shahih sehingga wajib
mengamalkannya. [al Baitsul Hatsits:127] Ali Hasan mengatakan: Itulah yang benar
dan tidak bisa terelakkan, seandainya tidak demikian maka ilmu akan terhenti dan
akan kesulitan mendapatkan kitab, akan tetapi harus ada patokan-patokan ilmiyah
yang detail yang diterangkan para ulama' dalam hal itu sehingga urusan tetap teratur
pada jalannya [Al Baitsul Hatsits:1/368 dengan tahqiqnya]. Dengan demikian
pendapat yang pertama tidak tepat lebih-lebih di masa ini. Diantara yang mendukung
kebenaran pendapat yang membolehkan atau mewajibkan adalah berikut ini Nabi
bersabda:
ن- `b[œc › šn ل: وآ wPŠ ء، wnjUT وا ا Q وذآ X‚Y ر }ba X ن وه `b[œc› šn ل: وآ wt .d‘˜—†L ا : ا `Lwt ؟ wUw†c إ X‘nL إ qva أ •]‡L أي ا
\[ ن `~£c م `t ل wt ؟ ¡ ل ا `o ر wc \†Š ا `Lwt . X آQ‚ أ \nY wU ن وأ `b[œ~› šn ل: وآ wPŠ \U ا : و `Lwt ؟! X‚n]a ل Ÿbc JI`L وا
w‚nŠ w†Y `U`[œc w¤l ون }vc X آ}Y artinya: "Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib
imannya?" Mereka mengatakan: "Para malaikat." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
mengatakan: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka di sisi Rabb
mereka?". Merekapun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallampun menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun
kepada mereka". Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami?" Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah
kalian." Mereka mengatakan : "Maka siapa Wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:
"Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran
lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya." [HR Ahmad, Abu Bakar Ibnu
Marduyah, ad Darimi, al Hakim dan Ibu 'Arafah, Ali Hasan mengatakan: Cukuplah
Hadits itu dalam pandangan saya sebagai Hadits Hasan lighoirihi (bagus dengan
jalan-jalan yang lain), semua jalannya lemah namun lemahnya tidak terlalu sehingga
dihasankan dengan seluruh jalan-jalannya. Dan al Haitsami dalam al Majma:10/65
serta al Hafidz dalam al Fath:6/7 cenderung kepada hasannya hadits itu. [al Baitsul
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
6 of 9 04-03-2009 07.58
Hatsits:1/369 dengan tahqiqnya], maraji': Ad Dho'ifah:647-649, syekh al Albani
cenderung kepada lemahnya, Fathul Mughits:3/28 ta'liqnya, Al Mustadrak:4/181,
musnad Ahmad:4/106, Sunan ad Darimi:2/108, Ithaful Maharoh:14/63. Tafsir Ibnu
Katsir:1/44 Al Baqarah:4- pen]
- Amalan Ibnu Umar, dimana beliau meriwayatkan dari ayahnya dengan al wijadah, al
Khatib al Baghdadi dalam bukunya [al kifayah:354] meriwayatkan dengan sanadnya
sampai kepada Nafi, dari Ibnu Umar, دون w†nŠ gnL w‚nŠ d¤nl ب wˆ‡L ا \Y Q†a šno X˜wt JŠ }| و ZU أ
ةwx w‚n¤Š wr†¥ §Uw ذا آ ¦Š dt}l {Y› ا \[ g†¥
'Bahwa beliau mendapatkan pada gagang pedang umar sebuah lembaran (tertulis)
'Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima, kalau jumlahnya 5
maka zakatnya satu kambing jantan…'
- Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al Jauni beliau adalah seorang Tabi'in yang
Tsiqoh (terpercaya) seperti kata al Hafidz Ibnu Hajar dalam [at Taqrib:621], beliau
mengatakan: "Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang
terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami
mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az Zubair datang kepada
kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih." [Al Kifayah:355 dan Fathul
Mughits:3/27]
Bila seperti ini keadaannya maka seberapa besar faidah sebuah sanad hadits yang
sampai ke para penulis Kutubus Sittah di masa ini, toh tanpa sanad inipun kita bisa
langsung mendapatkan buku mereka. Dan kita dapat mengambil langsung haditshadits
itu darinya, walaupun tanpa melalui sanad 'muttashil musnad manqul' kepada
mereka. Dan wajib kita mengamalkannya seperti anda lihat keterangan di atas.
Tidak seperti yang dikatakan Nur Hasan bersama LDIInya bahwa tidak boleh
mengamalkanya bahkan itu haram!! Subhanallah, pembaca melihat ternyata dalil
dan para ulama menyelisihi mereka, jadi dari mana 'manqulmu' dimanqul?? Ahmad
Syakir mengatakan: "Dan kitab-kitab pokok kitab-kitab induk dalam sunnah Nabi dan
selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan
cara al wijadah.
Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa
manuskrip yang dapat dipercaya, tidak meragukannya kecuali orang yang lalai dari
ketelitian makna pada bidang riwayat dan al wijadah atau orang yang membangkang,
yang tidak puas dengan hujjah.[Al Baitsul Hatsits:128].
Oleh karenanya para ulama yang memiliki sanad sampai penulis Kutubus Sittah,
tidak membanggakan sanad mereka apabila amalannya tidak sesuai dengan Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan mereka tidak pernah pamer, tidak pula mereka
memperalatnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, karena mereka tahu
hakekat kedudukan sanad pada masa ini., berbeda dengan yang tidak tahu sehingga
memamerkan, memperalat dan…dan…
k. Juga, untuk membuktikan benar atau salahnya ajaran manqul. Kita perlu
membandingkan ajaran LDII dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Seandainya
manqulnya benar maka tentu ajaran LDII akan sama dengan ajaran Nabi dan para
sahabatnya, kalau ternyata tidak sama maka pastikan bahwa manqul dan ajaran LDII
itu salah, dan ternyata itulah yang terbukti.
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
7 of 9 04-03-2009 07.58
Berikut ini pokok-pokok ajaran LDII yang berbeda dengan ajaran Nabi dan para
sahabatnya:
- Dalam hal memahami bai'at dan mengkafirkan yang tidak bai'at.
- Dalam hal mengkafirkan seorang muslim yang tidak masuk LDII
- Dalam hal manqul itu sendiri
- Dalam aturan infaq
- Menganggap najis selain mereka dari muslimin
- Menganggap tidak sah sholat dibelakang selain mereka
- Begitu gampang memvonis seseorang di Neraka padahal dia muslim
- Menganggap tidak sahnya penguasa muslim jika selain golongannya
- Dan lain-lain
[perincian masalah-masalah ini sebagiannya telah kami jelaskan dalam makalah
yang lain, dan yang belum akan menyusul insyaallah, tunggulah saatnya!! -pen]
l. Sanad Nur hasan Ubaidah [Seputar sanad Nur Hasan atau Ijazah haditsnya ini
banyak cerita unik di kalangan LDII, konon hadits-haditsnya hilang waktu naik becak,
yang disampaikan kepada pengikutnya hanya 6.-pen], dalam kitab himpunan
susunan LDII pada Kitabush Sholah hal. 124-125 yang sampai kepada Imam at
Tirmidzi pada hadits Asma' wa Shifat Allah, ternyata hadits itu adalah hadits lemah,
Ibnu Hajar mengatakan: "'Illah (cacat) hadits itu menurut dua syaikh (al Bukhari dan
Muslim). Bukan hanya kesendirian al Walid ibnu Muslim (dalam meriwayatkannya),
bahkan juga adanya ikhtilaf (perbedaan periwayatan para rawinya), idlthirab
(kegoncangan akibat perbedaan itu), tadlis (sifat tadlis pada al Walid ibnu Muslim
yaitu mengkaburkan hadits) dan kemungkinan adanya idraj (dimasukkannya ucapan
selain Nabi pada matan hadits itu [Fathul Bari, syarah al Bukhari:11/215].). Jadi
cacat/'illah/kelemahan hadits itu ada 5 sekaligus, yaitu tafarrud, ikhtilaf, idlthirab,
tadlis dan idraj." Imam At Tirmidzipun merasakan kejanggalan pada hadits ini,
dimana beliau setelah menyebutkan hadits ini mengatakan: 'Gharib' (aneh karena
adanya tafarrud/kesendirian dalam riwayat) [Sunan at Tirmidzi:5/497, no:3507],
demikian pula banyak para ulama menganggap lemah hadits ini seperti Ibnu
Taimiyyah, Ibnu Katsir, al Bushiri, Ibnu Hazm, al Albani dan Ibnu Utsaimin. [lihat al
Qowa'idul Mutsla:18 dengan catatan kaki Asyraf Abdul Maqshud]. Hadits yang
shahih dalam masalah ini adalah tanpa perincian penyebutan Asma'ul Husna dan itu
diriwayatkan al Bukhari dan Muslim
Kajian keyakinan kedua, bahwa dialah satu-satunya jalan manqul…
Apa ini bukan kesombongan, kebodohan serta penipuan terhadap umat?!. Karena
sampai saat ini sanad-sanad hadits itu masih tersebar luas di kalangan tuhllabul ilmi,
mereka yang belajar hadits di Jazirah Arab, Saudi Arabia dan negara-negara
tetangganya, di Pakistan, India atau Afrika, baik yang belajar orang Indonesia atau
selain orang Indonesia, mereka banyak mendapatkan Ijazah [Bukan ijazah tamat
sekolah, tapi ini istilah khusus dalam ilmu riwayat hadits. Yaitu ijin dari syekh untuk
meriwayatkan hadits - pen] riwayat Kutubus Sittah dan yang lain termasuk
diantaranya adalah penulis makalah ini. Kalau dia konsekwen dengan ilmu
manqulnya, lantas mengapa dia anggap dirinya satu-satunya jalan manqul??
Sehingga kalian - wahai pengikut LDII - mengkafirkan yang tidak menuntut ilmu dari
kalian, termasuk mereka yang mengambil ilmu dari negara-negara Arab dari
ulama/syaikh-syaikh yang punya sanad, padahal mereka mendapat sanad, ternyata
kalian kafirkan juga?!
Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1) http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974
8 of 9 04-03-2009 07.58
Asy Syaikh al Albani dan murid-muridnya di Yordania, asy Syaikh Abdullah al Qar'awi
dan murid-muridnya, asy Syaikh Hammad al Anshari dan murid-muridnya di Saudi
Arabia, asy syaikh Muqbil di Yaman, asy Syaikh Muhammad Dhiya'urrahman al
'Adhami dari India dan murid-muridnya, dan masih banyak lagi yang lain tak bisa
dihitung. Merekapun punya sanad Kutubus Sittah dan selainnya sampai kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam, tapi mereka tidak seperti kalian, wahai Nur Hasan dan
pengikutnya. Mereka tahu apa arti sebuah sanad di masa ini, dan perlu diketahui
bahwa semua mereka aqidahnya berbeda dengan aqidah kalian, wahai penganut
LDII. Mana yang benar, wahai orang yang berakal??

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar Zainuddin, Lc, pimpinan Pondok Pesantren
Darul Atsar, Kedu, Temanggung serta Pimred Majalah Asy Syariah. Judul asli Antara
Al Qur'an, Al Hadits dan 'Manqul'.)

Kedustaan Nurhasan Ubaidah Lubis (Imam Jama'ah LDII)

Berikut ini adalah bukti kedustaan Imam LDII, dalam memanipulasi hadits Nabi yang mengatakan dirinya manqul kepada Rasulullah SAW.

Dalam Kitabus-Shalah (kitab tentang Shalat), hlm. 124-125 yang disusun oleh pemimpin kelompok Islam Jama’ah /Lemkari/354 (Tidak diperjualbelikan khusus untuk intern warga 354), Nur Hasan (Madigol) mengutip sebuah hadits dalam kitab Sunan At-Tirmidzi.

Dia mengatakan bahwa dirinya manqul dari Nabi Muhammad SAW. Adapun hadits tersebut berbunyi, yang artinya, “Telah menceritakan kepada kami, ‘Ubaidah bin Abdil Aziz (Nur Hasan Ubaidah Lubis, Pen), telah menceritakan kepada kami, Syaikh Umar Hamdan Al-Madani Al-Makki, dari sayyid Ali Adh-Dhahir Al-Witri Al-Madani, dari Syaikh Abdil Ghani Al-Majaddidi, dari ayahnya Abi said, dari Abdil Aziz Ad-Dihlawi As-Syah Waliyillah Ad-Dihlawi, dari Syaikh Abi Thahir Al-Kurani, dari ayahnya Syaikh Ibrahim Al-Kurani, dari Syaikh Al-Mijahi, dari Syaikh Ahmad As-Subki, dari Syaikh Najmuddin Al-Ghaithi dari Zaini Zakaria dari Al-Iz bin Abdirrahim bin Furaat, dari Syaikh Umar bin Al-Hasan Al-Maraghi, dari Al-Fahr bin Ali bin Ahmad bin Abdil Wahid, dari Syaikh Umar bin Thobarzad Al-Baghdadi telah berkata, telah menceritakan kepada kami Syaikh Abul Fatah Abdul Malik bin abdil Qosim Al-Harawi Al-Karruhi telah berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Qadli Al-Zahid Abu Amir Mahmud bin Qasim, dan telah menceritakan kepadaku Syaikh bin Nashr Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali At-Tiryaqi dan Syaikh Abu Bakar Ahmad bin Abdi As-Shamad Al-Ghurazi mereka telah berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Abdul Jabbar bin Muhammad bin Al-Jarrah Al-Jarrahi telah berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Abdul Abas Muhammad bin Ahmad bin Mahbub telah berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At-Tirmidzi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ya’kub Al-Jauzajaani, telah menceritakan kepadaku Shafwan bin sholih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Syuaib bin Abi Hamzah dari Abi Zinad dari Al-’Araz dari abi Hurairah, telah berkata, telah berkata Rasulullah SAW, “Sesungguhnya bagi Allah SWT itu mempunyai sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya pasti dia masuk sorga, Dia Allah yang tidak ada tuhan selain Dia Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Qudus, As-Salam, Al-Mukmin, Al-Muhaimin, Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir, Al-Khaliq, al-Baari, Al-Mushawwir, Al-Ghaffar, Al-Qahar, Al-Wahab, Ar-Razzaq, Al-Fattah, Al-’Alim, Al-Qabidl, Al-Basit, Al-Khafidl, Ar-Rafi, Al-Muiz, Al-Mudzil, As-Sami, Al-Bashir, Al-Hakam, Al-’Adl, Al-Latif, Al-Khabir, Al-Halim, Al-’Adlim, Al-Ghofur, Asy-Syakur, Al-’Ali, Al-Kabir, Al-Hafid, al-Muqit, Al-Hasib, Al-Jalil, Al-Karim, Ar-raqib, Al-mijib, Al-Waasi, Al-Hakim, Al-Wadud, Al-Majid, Al-Baits, As-Syahid, Al-Haq, Al-Wakil, Al-Qawi, Al-Matin, Al-Wali, Al-Hamid, Al-Muhshi, Al-Mubdi, Al-Muid, Al-Muhyi, Al-Mumit, Al-Hayyu, AlQayum, Al-Wajidu, Al-Majidu, Al-Wahidu, Ash-Shamadu, Al-Qadiru, Al-Muktadir, Al-Muqadim, Al-Mu’akhir, Al-Awwal, Al-Akhir, Adh-Dhahir, Al-Bathin, Al-Wali, Al-Muta’ali, Al-Barru, At-Tawwab, Al-Muntaqimu, Al-’Afuwwu, Ar-Raufu, Maalikul Mulki, Dzul Zalali wal Ikram, Al-Muqsit, Al-Jaami, Al-Ghani, Al-Mughni, Al-Maani, Adl-Dlaru, An-Nafi’, An-Nur, Al-Hadi, Al-Badi’, Al-Baqi, Al-Waritsu, Ar-Rasyid, Ash-Shobur.”

Hadits tersebut aslinya dalam kitab Sunan At-Tirmidzi, juz 5, hal.192, hadits no. 3574, penerbit: Perpustakaan As-Salafiyah Madinah Al-Munawwarah.

Penjelasan

Setelah melakukan penelitian terhadap buku-buku pegangan kelompok 354, LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) menyimpulkan:

Buku-buku pegangan kelompok Islam Jama’ah/Lemkari/354 adalah gelap, artinya, buku itu tanpa penulis dan penerbit, hanya di akhir tiap-tiap buku itu tertulis: “Tidak diperjualbelikan, khusus untuk intern warga 354.” Hal ini bisa dimengerti, mengingat cara penulisannya menyimpang dari pemahaman yang sesungguhnya, tetapi dipahami menurut cara penyusunnya. Oleh karena itu, agar terhindar dari serangan kaum cendekiawan yang ahli, diantaranya mereka menulis dengan cara gelap.

Untuk menguatkan ajaran manqulnya, Nur Hasan mengutip sebuah hadits dalam kitab Sunan At-Tirmidzi juz V hlm. 192 hadits no. 3574, Penerbit Pustaka As-Salafiyah Madinah Al-Munawwarah. (seperti dikutip).

Hadits tersebut, (silakan Saudara kaum Msulimin sekalian cek dengan sumber yang aslinya yang dapat dipercaya) sanad aslinya adalah sbb:

Imam At-Tirmidzi menerima dari Ibrahim bin Yaqub Al-Jaujaani, Ibrahim menerima dari Shofwan bin Sholih, Shofwan menerima dari Al-Walid bin Muslim, Al-Walid menerima dari Syaib bin Hamzah, Syaib menerima dari Abi Zinad, Abi Zinad dari Al-Araz, Al-Araz dari Abi Hurairah, Abu Hurairah dari Nabi SAW. Inilah sanad hadits tersebut dalam kitab asli Imam At-Tirmidzi. Sama sekali tidak tercantum nama Nurhasan Ubaidah Lubis (yang dalam kitab-kitab pegangan 354, tercantum dengan nama Ubaidah bin Abdul Azis, untuk meyakinkan anggotanya yang tidak memahami).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Nur Hasan telah menambah sanad hadits tersebut dan mencantumkan nama Nur Hasan Ubaidah padanya.

Tambahan nama Nur Hasan bin Abd. Azis (Nur Hasan Ubaidah Lubis) di awal sanad tersebut adalah pemalsuan yang dilakukan oleh Nur Hasan dan tokoh pendukungnya. Begitu juga nama orang-orang yang ditambahkan Nur Hasan setelah namanya tersebut sampai Imam At-Tirmidzi tidak ada dalam Kitab Imam At-Tirmidzi yang asli. Yang ada hanya nama Imam At-Tirmidzi sampai dengan Rasulullah SAW.

Syarat harus manqul dalam menyiarkan Islam tidak pernah ada dalam ketentuan Ilmu Hadits.

Nur Hasan mengaku dirinya belajar di perguruan Darul Hadits Makkah Al-Mukarramah sekitar tahun 1229-1941 M/1349 s/d 1361 H. Apakah benar orang yang bernama Haji Nurhasan Al-Ubaidah pernah study di perguruan Darul Hadits?

Sebagai jawaban atas pengakuan tersebut, berikut ini kami kutipkan jawaban Direktur Umum Inspeksi Agama di Masjid Al Haram As-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid pada tahun 1399 H.

Jawaban:

“Perguruan Darul Hadits belum berdiri sebelum 1352 H.” (1932 M, pen). Maka study H. Nurhasan Al-Ubaidah sebelum lahirnya perguruan tersebut pada perguruan itu adalah di antara hal yang membuktikan bahwa pengakuannya tidak benar. Dan setelah kami periksa arsip perguruan Darul Hadits di sana, tidaklah terdapat nama dia sama sekali, hal itu membuktikan bahwa dia tidak pernah study di sana.

Mengenai pertanyaan saudara tentang “Dapatkah dibenarkan pendiriannya yang mengharuskan diterimanya hadits-hadits Nabi yang hanya diriwayatkan oleh dia saja?” Dapatlah dijawab bahwa menggunakan periwayatan hadits, sehingga tidak dapat diterima kecuali melalui dia adalah suatu pendirian yang batil. Ini adalah penipuan terhadap ummat yang tidak patut dipercaya, sebab riwayat hadits-hadits Rasulullah sudah tercantum dalam kitab-kitab hadits induk yang shahih dan kitab-kitab hadits induk lainnya.

Selanjutnya, dia (Nurhasan) tidak akan sanggup mencakup (menghafal) hadits-hadits Rasulullah SAW walau sekedar sepersepuluhnya (1/10, pen). Oleh karena itu, bagaimana mungkin tidak dibolehkan seseorang menerima hadits-hadits Rasulullah SAW, kecuali hanya melalui dia, sedangkan dia pun sudah terbukti tidak pernah study pada Perguruan Darul Hadits di Makkah Al-Mukarramah. Orang ini sebenarnya hanya pemalsu keterangan, penipu ummat, untuk mengajak orang-orang awam masuk ke dalam alirannya.

Mengenai pertanyaan saudara tentang “Benarkah dia seorang Amirul Mukminin yang dibai’at secara ijma’ dan bahwa mengenai Amirul Mukminin itu telah menunjuk seorang wakilnya yaitu Haji Nur Hasan Al-Ubaidah Lubis, dan adakah legalitasnya yang mewajibkan umat tauhid di Indonesia untuk patuh dan taat kepada dia?”

Jawabannya:

“Haji Nur Hasan Al-Ubaidah mengaku wakil Amirul Mukminin dan tidak ada orang yang mengangkatnya sebagai wakil. Tetapi orang ini sebenarnya hanyalah dajjal (penipu) dan pemalsu keterangan, sehingga tidak perlu dihiraukan dan tidak patut dipercaya, bahkan wajib dibongkar kepalsuannya kepada khalayak ramai serta di jelaskan penipuannya dan keterangan-keterangannya yang palsu supaya khalayak ramai mengetahuinya. Dengan demikian, kita termasuk orang yang berdakwah beramar ma’ruf nahi munkar, dalam hal ini memerangi aliran-aliran sempalan yang menyesatkan.

Sumber: Diadaptasi dari Bukti Kebohongan Imam Jama’ah 354 LPPI, Nur Hasan Ubaidah Lubis, LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam)

Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia